Konflik berasal dari kata kerja Latin configure yang
berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya. Dalam proses demokrasi (elektoral), konflik merupakan
sebuah keniscayaan karena setiap individu atau kelompok sosial memiliki
kepentingan, pemahaman, dan nilai yang berbeda-beda. Konflik relatif mudah
hadir dari basis sosial yang lebih kompleks, dibanding hanya sekedar suatu
kompetisi dalam proses demokrasi. Pada sisi lain, demokrasi juga diyakini oleh
sebagian orang sebagai sarana untuk mentransformasikan konflik. Jika dulu orang
saling membunuh untuk menjadi raja, kini mereka bertarung melalui bilik suara.
Jika dulu orang merangkul senjata untuk membuat orang lain tunduk, sekarang
mereka
harus
berkampanye dengan memasang spanduk atau leafleat di mana-mana agar memperoleh
dukungan suara menjadi kepala daerah. Demokrasi berupaya mentransformasikan
konflik yang berwujud kekerasan ke arah bilik suara, dari memaksa (coercive)
ke persuasif.
Meski
demikian, demokrasi dan konflik sebenarnya juga merupakan dua hal yang tidak
mudah dihubungkan. Dari banyak pengalaman yang ada, bukan hal yang mudah
membuktikan bahwa demokrasi dapat menjadi pemicu konflik, walaupun dapat saja
diklaim bahwa eskalasi konflik disebabkan oleh liberalisasi politik yang
bekerja dalam proses demokrasi. Jadi eksistensi konflik memang suatu hal yang
wajar bagi suatu proses demokrasi. Hanya saja, menjadi berbahaya jika konflik
sudah represif dan berwujud kekerasan (violence). Dalam wacana
demokrasi, konflik tidak dipahami sebagai hal yang negatif, melainkan sebagai
satu gejala responsif dalam upaya menciptakan kontrol dan keseimbangan di
antara pihak-pihak yang berkepentingan.
Pilkada,
sebagai sebuah mekanisme demokrasi sebenarnya dirancang untuk
mentransformasikan sifat konflik yang terjadi di masyarakat. Pilkada berupaya
mengarahkan agar konflik tidak meluas menjadi kekerasan. Sayangnya, idealitas
yang dibangun dalam sebuah proses demokrasi, pada kenyataannya seringkali jauh
dari apa yang diharapkan. Pilkada yang dirancang sebagai demokrasi elektoral,
justru menjadi ajang baru timbulnya konflik kekerasan dan benturan-benturan
fisik antar pendukung calon kepala daerah menjadi pemandangan jamak yang
ditemui. Singkatnya, mekanisme demokrasi yang ada seolah justru melegitimasi
munculnya kekerasan akibat perbedaan yang sulit ditolerir antara pihak-pihak
berkepentingan di arena demokrasi. Dengan kata lain, desain demokrasi di
Indonesia dalam konteks penyelenggaraan pilkada telah gagal sebagai cara
mentransformasikan konflik. Kegagalan tersebut disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, pemilu yang diperkenalkan di Indonesia selama ini dibangun
atas basis pondasi preferensi individu. Diumpamakan bahwa mereka yang
berinteraksi adalah individu-individu otonom yang masing-masing memiliki
preferensi tersendiri, one man, one vote, one voice. Asumsi ini sangat
problematik jika dihadapkan pada masyarakat Indonesia, yang sebagai individu
tidak pernah lepas dari kategorisasi-kategorisasi sosial yang membentuknya.
Sebagaimana di Papua, satu suara lahir dari suatu honai (keluarga/rumah
tangga), bukan dari satu individu. Jadi suatu "jamaah/umat" akan
menentukan preferensi individu-individu yang ada di dalamnya. Preferensi
individu sebagian besar didasarkan atas basis sosial (socially bounded
Individu). Dari pilihan basis sosialnya, individu baru kemudian akan
mempertimbangkan pilihan-pilihannya terhadap kandidat yang tampil dalam pemilu.
Kandidat dalam hal ini juga tidak sekedar sebagai kandidat pilkada tetapi juga
tokoh yang dianggap mewakili basis sosial tertentu. Tidak mengherankan jika
kemudian tokoh masyarakat seperti Kyai, kepala suku atau tokoh panutan lain,
akan lebih menentukan preferensi-prefensi atau pilihan individu untuk bertindak
secara politik.
Kedua, jika melihat logika cara mengelola elektoralisme di
Indonesia, maka yang berlaku adalah logika "winner take all",
"kalau saya dapat, yang lain tidak akan dapat". Dengan kata lain,
logika yang terbentuk adalah demokrasi dengan desain mediteranisme yang pada
prinsipnya "siapa yang menang, maka dia yang akan mendapatkan
segalanya", sementara bagi yang kalah harus menunggu lima tahun lagi.
Logika winner take all menciptakan dominasi kekuasaan, sebab konsekuensi
dari kemenangan kepala daerah dari komunitas tertentu akan menciptakan
"gerbong" birokrasi atas dasar basis sosial di lingkup pemerintahan
daerah. Posisi-posisi birokrasi strategis akan dipegang oleh orang-orang yang
berasal dari basis sosial yang sama. Sebaliknya, orang-orang (pejabat) yang
berasal dari basis sosial berbeda akan tersingkir pada posisi pinggiran, yang
bahkan sama sekali tidak diperhitungkan. Posisi yang dulunya merupakan posisi
"mata air" berubah pada posisi "air mata" disebabkan
perbedaan etnis atau basis sosial lainnya. Logika winner take all, tidak
hanya menjelaskan tentang adanya dominasi elit. Lebih jauh dari itu, kemenangan
kandidat dalam Pilkada akan menentukan nasib satu kampung, etnis atau komunitas
tertentu. Komunitas yang terwakili akan mampu bertahan karena adanya jaminan
sumberdaya publik yang mereka dapatkan. Sementara bagi komunitas yang lain,
nasibnya sangat besar kemungkinan akan terabaikan. Kepala daerah terpilih akan
memprioritaskan penyaluran bantuan sosial atau alokasi dana sosial ke komunitas
tertentu yang merepresentasikannya. Akibatnya, kesejahteraan suatu entitas atau
komunitas pendukung Kepala daerah terpilih akan terjamin dibanding komunitas
lainnya. Begitu juga jajaran birokrasi yang telah didominasi oleh komunitas
pendukung kepala daerah, akan melicinkan jalan memperoleh kesejahteraan bagi
komunitasnya. Kesadaran semacam inilah yang nampaknya menjadi landasan
masyarakat dalam melihat Pilkada, yang kemudian mendorong mereka berani
mempertaruhkan nyawa, demi mempertahankan eksistensi entitasnya, demi
eksistensi dirinya sendiri.
Pilkada
yang bekerja dengan logika socially bounded individu dan winner take
all memunculkan persoalan konflik yang cukup rumit. Kompleksitas salah satunya
berakar pada karakter masyarakat Indonesia sendiri. Struktur sosial yang
terfragmentasi dimana masing-masing kelompok memiliki basis kuat, nampak tidak
kompatibel dengan logika Pilkada yang dibangun pemerintah. Dilihat dari
struktur masyarakat plural seperti itu, Pilkada tidak bisa lagi dilihat hanya
sekedar persoalan rekruitmen kepala daerah, tetapi lebih kompleks dari itu,
Pilkada menyangkut persoalan "hidup mati" sebuah komunitas.
Dominannya jalur aspirasi melalui basis sosial memang tidak dapat dilepaskan
dari kurangnya mekanisme pelibatan publik luas dalam pengambilkan keputusan.
Hampir bisa dikatakan bahwa iklim demokrasi di Indonesia pasca otonomi tidak
mengalami perubahan yang berarti bagi hadirnya ruang publik. Tidak ada
mekanisme efektif apapun yang memberi kesempatan kepada masyarakat untuk
mempengaruhi kebijakan. Musrembang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) yang
notabene sebagai ajang partisipasi masyarakat pun hanya menjadi suatu proses
ritual demokrasi belaka. Birokrasi seolah menganggap masyarakat tidak mampu
membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Dalih ini memberi otoritas bagi
birokrasi sebagai pihak yang dianggap paling tahu dalam menentukan alokasi
sumberdaya.
Pada
sisi yang lain, mekanisme demokrasi sebagaimana sebelumnya dipaparkan cenderung
menjadikan masyarakat bersikap "pra bayar". Masyarakat bukannya lebih
memilih menggunakan momentum pilkada untuk menyalurkan aspirasi dan
kepentingannya secara ideologis, mereka justru menjadikan pilkada sebagai
bagian dari sumber pendapatan uang tunai. Daripada mengaharap janji-janji
Pemilu yang sudah sering tidak ditepati, masyarakat lebih memilih memperoleh
uang tunai di awal sebelum menentukan pilihan. Mereka nampak telah skeptis dan
berpikir bahwa akan lebih sulit mendapatkan kompensasi apapun dari pemenang
pilkada setelah hingar bingar berlalu. Masyarakat seakan tahu: lebih baik
memilih mengambil keuntungan di awal karena mereka tahu setelah pilkada, mereka
akan ditinggalkan. Jika demikian, maka persoalan konflik pilkada bukan semata-mata
karena adanya provokator atau adanya mekanisme dan regulasi yang tidak tepat.
Tetapi konflik lahir sebagai dampak logika pilkada yang bersandar pada basis
sosial amat kuat.
Selain
yang dijelaskan diatas, rawannya konflik dan kekerasan di alam demokrasi
Indonesia disebabkan adanya sistem multipartai yang sesungguhnya telah
menggambarkan perbedaan kepentingan itu sendiri. Secara sederhana, perbedaan
kepentingan memberi kontribusi terhadap merapuhnya perdamaian sosial. Hal ini
menjadi kenyataan pada saat kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik
kepentingan menggunakan strategi contentious dalam prosesnya. Strategi contentious
ditunjukkan dengan sikap dan perilaku yang agresif, serta tidak memedulikan
kelompok lain. Pada konflik yang diciptakan oleh karakter contentious adalah
zero-sum game, menang untuk kelompok sendiri dan ati untuk lawan. Kekerasan
yang dilahirkan dari pola konflik inipun, dalam istilah Galtung (1997)
menyebababkan absennya perdamaian negatif dan positif sekaligus, artinya
ancaman kekerasan dalam bentuk aksi kekerasan fisik dan ketidakadilan sosial
adalah ancaman nyata. Seandainya 34 parpol memiliki karakter kontentous,
ancaman lahirnya kekerasan fisik dan ketidakadilan sosial bukanlah hal yang
absurd dalam negara demokrasi Indonesia. Sejarah pemilu di Indonesia sendiri
selalu tidak lepas dari pertunjukan hard power, dan akibatnya aksi kekerasan
antar pendukung partai politik tak terhindar. Pemilu daerah yang telah
terlaksana di berbagai daerahpun tidak lepas dari fenomena kekerasan antar
massa parpol akibat pertunjukan hard power ini.
Namun
pernyataan diatas sepertinya tidak berlaku dan kurang tepat untuk menggambarkan
pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2012 ini dimana masyarakat semakin cerdas dan
tidak mudah terprovokasi dengan berbagai isu yang dihembuskan seperti isu SARA
dan politik uang. Masyarakat tetap tenang dalam menanggapi isu-isu tersebut,
dimana tak ada konflik yang meletus. Terlepas dari permasalahan DPT (Daftar
Pemilih Tetap), pilkada di Jakarta terbilang sukses. Kesusksesan pilkada di
Jakarta dapat pula dilihat dari partisipasi masyarakat yang semakin meningkat
pada putaran kedua. Selain itu, warga Jakarta tidak lagi terpaku pada calon
yang berasal dari komunitas yang sama tetapi lebih memilih pemimpin yang
memiliki visi misi yang dirasa mewakili warga Jakarta dan tidak peduli lagi
dengan perbedaan atribut yang disandang oleh calon Gubernur seperti ras, suku,
agama, dan lain sebagainya. Suksesnya pilkada di Jakarta semoga diikuti oleh
daerah-daerah lain yang akan menyelenggarakan pesta demokrasi dan konflik yang
sering terjadi saat maupun pasca pilkada seperti tahun-tahun sebelumnya tidak
pernah terulang kembali. Kesuksesan pilkada di Jakarta dapat dijadikan tolak
ukur keberhasilan pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014 nanti.
Terlepas
dari suksesnya pilkada di Jakarta, banyak konflik yang pernah terjadi saat
maupun pasca pilkada khususnya konflik horizontal antar masyarakat pendukung
pasangan calon. Internasional Crisis Group (ICG) mencatat sekitar 10 persen
dari 200 pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang digelar
sepanjang tahun 2010 diwarnai aksi kekerasan. Seperti di
Mojokerto, Jawa Timur, Tana Toraja di Sulawesi Selatan dan Toli-toli di
Sulawesi Tengah. ICG menyebutkan bahwa kekerasan dalam Pilkada antara lain
dipicu oleh lemahnya posisi penyelenggara Pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum
kabupaten/kota dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu)
Jika dianatomi, beberapa sumber konflik horizontal yang
berujung pada tindak kekerasan dalam Pilkada disebabkan beberapa hal diantaranya :
1. Adanya rasa
ketidakpuasan dari pasangan calon atau pendukung pasangan calon ketika gugur
dalam tahap pencalonan.
Kejadian ini terjadi pada Pilkada Kabupaten Mojokerto
Tahun 2010. Selain Mojokerto, kekerasan yang dilakukan pendukung pasangan calon
akibat gugur dalam tahap pencalonan juga terjadi dalam pilkada di
Kabupaten Puncak Provinsi Papua yang menewaskan sekitar 19 orang. Konflik
terjadi akibat KPU setempat menolak salah satu pasangan calon yang diajukan
oleh Partai Gerindra karena partai tersebut sebelumnya sudah mendaftarkan
pasangan calon yang lain. Akibatnya terjadi dualisme dukungan yang diberikan
oleh Partai Gerindra kepada dua pasangan calon yang berbeda.
2. Adanya rasa tidak puas
pasangan calon terhadap hasil penghitungan Pilkada.
Tahapan
pendaftaran pemilih yang amburadul inilah yang mengakibatkan konflik pada pemungutan
dan penghitungan suara. Diakui bahwa sengketa Pilkada memang banyak diawali
oleh tidak maksimalnya proses pendaftaran pemilih. Pengalaman Pilkada selama
ini menunjukan bahwa ketika pemutahiran data pemilih tidak maksimal dan
mengakibatkan banyaknya warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, maka
kemungkinan besar terjadi protes dan konflik ketika hari H. Karena pendataan
pemilih yang kurang valid, pada saat penetapan pemenang biasanya akan terjadi
kekisruhan. Fenomena yang sering muncul adalah pihak yang kalah apalagi
mengalami kekalahan dengan angka tipis selalu mengangkat isu penggelembungan
suara, banyak warga yang tidak terdaftar dan persoalan pendataan pemilih
lainnya sebagai sumber utama kekalahan. Massa yang merasa tidak mendapatkan hak
pilihnya biasanya memprotes dan dimanfaatkan oleh pasangan yang kalah.
Kejadian ini pernah terjadi dalam Pilkada di Sumatra Selatan, dimana pendukung
Syahrial Oesman menuding adanya penggelembungan suara di Kabupaten Musi
Banyuasin yang mengakibatkan kemenangan tipis Alex Noerdin. Selain itu kisruh
pilkada juga terjadi di Tana Toraja Sulawesi Selatan Tahun 2010. Kerusuhan
dipicu ketidakpuasan ratusan pendukung dua pasangan calon bupati dan Wakil
bupati, yakni Nikodemus Biringkanae-Kendek Rante dan pasangan Victor Datuan
Bata-Rosina Palloan, atas hasil penghitungan sementara pemilihan umum kepala
daerah yang dilakukan beberapa lembaga survei. Kerusuhan itu
menyebabkan 1 orang tewas dan 10 orang luka berat dan ringan. Kerusuhan
juga mengakibatkan sejumlah bangunan kantor pemerintahan rusak, seperti Kantor
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tana Toraja, Kantor Panitia Pengawas Pemilihan Umum
(Panwaslu), Gedung DPRD, Kantor Dewan Pimpinan Daerah Partai Golongan Karya,
dan rumah dinas Bupati Tana Toraja Johannes Amping Situru. Ketidakpuasan warga
terhadap hasil Pilkada juga terjadi di Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Maros,
Sulawesi Selatan. Di Soppeng, massa merusak Kantor KPU Soppeng dan dua kantor
kecamatan, yakni Takkalala dan Lalabata. Sementara di Maros, massa melempari
Kantor Kecamatan Tabralili dengan bom Molotov. Kerusuhan akibat rasa tidak puas
terhadap hasil Pilkada juga pernah terjadi pada tahun 2006 di Kabupaten Tuban
Jawa Timur. Kerusuhan itu mengakibatkan beberapa bangunan umum seperti Pendopo
Kabupaten Tuban hangus dibakar massa.
Selain
itu, Pemicu
lain yang biasanya memunculkan konflik dalam Pilkada adalah tidak bersedianya
DPRD menetapkan hasil Pilkada. Meskipun tidak memiliki dampak yuridis terhadap
hasil Pilkada, namun penolakan DPRD tersebut memunculkan sengketa politik
berkepanjangan pasca Pilkada. Seperti misalnya yang terjadi pada Pilkada
Banyuwangi 2005 di mana pihak DPRD bersikukuh menolak penetapan Bupati
Banyuwangi terpilih. Kasus penolakan penetapan oleh DPRD biasanya diawali oleh
kekalahan pasangan calon yang didukung oleh banyak partai yang secara politik
memiliki kekuatan signifikan di DPRD. Dan umumnya penolakan tersebut berujung
pada tidak harmonisnya hubungan kekuatan eksekutif dan legislatif pasca
Pilkada.
Proses
Konflik Pilkada di Mojokerto
Konflik
Insiden anarkis di halaman Gedung DPRD Kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur Jumat (21/5/2010) sedikitnya mengakibatkan 22 mobil
hancur dan 10 di antaranya dibakar massa dengan bom molotov saat penyampaian
visi dan misi calon bupati dan calon wakil bupati setempat. Aksi rusuh ini
merupakan rentetan demo yang terjadi sejak KPU Mojokerto mencoret pasangan KH
Dimyati Rosyid-M. Karel dari kancah pertarungan. Aksi anarkis itu terjadi
bersamaan penyampaian visi, misi dan program pasangan cabup-cawabup. Selain
melempari bom molotov, massa juga membakar dan merusak puluhan mobil, salah
satunya mobil dinas Wakil Walikota Mojokerto, H Masud Yunus, yang diundang
menghadiri acara itu juga ludes dilalap api. Sumber konflik berasal dari
kekesalan pendukung salah satu bakal calon bupati Mojokerto, yaitu
pasangan Dimyati Rosyid-M Karel yang tidak lolos proses verifikasi oleh
komisi pemilihan umum. Keputusan ini ditetapkan setelah Rumah Sakit dr Soetomo,
Surabaya menegaskan surat rekomendasi hasil tes lanjutan ke dua bersifat
menguatkan hasil tes kesehatan pertama. Dimana pasangan ini dianggap
menderita gangguan multiorgan. Mereka mempertanyakan
keabsahan pelaksanaan tahapan yang dilaksanakan KPU ( http://pilkadaponorogo.com/dimyati-rosyid-m-karel-tak-lolos-tes-kesehatan/ ).
Salah satu tujuan utama demokrasi untuk menekan habis kekerasan ternyata masih
belum tercapai, terbukti dari banyaknya kasus kisruh pilkada seperti yang sudah
dipaparkan diatas. Hal tersebut bukanlah perkara usia demokrasi semata. Namun
imbas dari belum berhasilnya transformasi demokrasi ditingkat kelembagaan.
Kegagalan transformasi demokrasi tersebut berakar oleh dua kutub dekonstruktif
yaitu kutub bad governance lembaga-lembaga demokrasi dan pelembagaan
anarkhisme politik warga. Hal ini berkaitan dengan fakta yang menunjukkan bahwa
lembaga-lembaga demokrasi di Indonesia seperti KPU, masih berjalan pada dimensi
formalitas. Penuh dengan seabrek prosedur dan laporan kerja. Namun miskin tata
kelola demokratis, sehingga tidak terbentuk kualitas proses pelaksanaan misi
lembaga. KPU tidak hanya menjalankan fungsi mengatur, tetapi juga harus
menjalankan fungsi akomodasi dalam mengelola konflik yang membantu penemuan pemecahan
masalah. Masalahnya fungsi akomodasi selama ini tidak dijalankan dengan baik
sehingga banyak aksi kekerasan dalam pilkada
Sedangkan kutub anarkhisme politik adalah pelembagaan
nir-toleransi, anti-prosedur legal dan kekerasan oleh warga. Idealnya istilah
warga negara merujuk pada kesediaan warga emngikuti dan memanfaatkan lembaga
demokrasi. Bersedia mengikuti aturan main tanpa aksi kekerasan. Suatu ideal
dari democratic citizenship. Faktanya democratic citizenship masih belum
terbentuk baik di Indonesia dan malah melembagakan anakhisme politik. Sehingga
ketidakpuasan dan proses terhadap pelaksanaan pilkada di daerah-daerah hampir
selalu diwarnai dengan aksi kekerasan dan pengrusakan gedung.