Selasa, 22 Desember 2015

Konflik dalam Pilkada ( Pemilihan Kepala Daerah )

Konflik berasal dari kata kerja Latin configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Dalam proses demokrasi (elektoral), konflik merupakan sebuah keniscayaan karena setiap individu atau kelompok sosial memiliki kepentingan, pemahaman, dan nilai yang berbeda-beda. Konflik relatif mudah hadir dari basis sosial yang lebih kompleks, dibanding hanya sekedar suatu kompetisi dalam proses demokrasi. Pada sisi lain, demokrasi juga diyakini oleh sebagian orang sebagai sarana untuk mentransformasikan konflik. Jika dulu orang saling membunuh untuk menjadi raja, kini mereka bertarung melalui bilik suara. Jika dulu orang merangkul senjata untuk membuat orang lain tunduk, sekarang mereka
harus berkampanye dengan memasang spanduk atau leafleat di mana-mana agar memperoleh dukungan suara menjadi kepala daerah. Demokrasi berupaya mentransformasikan konflik yang berwujud kekerasan ke arah bilik suara, dari memaksa (coercive) ke persuasif.
Meski demikian, demokrasi dan konflik sebenarnya juga merupakan dua hal yang tidak mudah dihubungkan. Dari banyak pengalaman yang ada, bukan hal yang mudah membuktikan bahwa demokrasi dapat menjadi pemicu konflik, walaupun dapat saja diklaim bahwa eskalasi konflik disebabkan oleh liberalisasi politik yang bekerja dalam proses demokrasi. Jadi eksistensi konflik memang suatu hal yang wajar bagi suatu proses demokrasi. Hanya saja, menjadi berbahaya jika konflik sudah represif dan berwujud kekerasan (violence). Dalam wacana demokrasi, konflik tidak dipahami sebagai hal yang negatif, melainkan sebagai satu gejala responsif dalam upaya menciptakan kontrol dan keseimbangan di antara pihak-pihak yang berkepentingan.
Pilkada, sebagai sebuah mekanisme demokrasi sebenarnya dirancang untuk mentransformasikan sifat konflik yang terjadi di masyarakat. Pilkada berupaya mengarahkan agar konflik tidak meluas menjadi kekerasan. Sayangnya, idealitas yang dibangun dalam sebuah proses demokrasi, pada kenyataannya seringkali jauh dari apa yang diharapkan. Pilkada yang dirancang sebagai demokrasi elektoral, justru menjadi ajang baru timbulnya konflik kekerasan dan benturan-benturan fisik antar pendukung calon kepala daerah menjadi pemandangan jamak yang ditemui. Singkatnya, mekanisme demokrasi yang ada seolah justru melegitimasi munculnya kekerasan akibat perbedaan yang sulit ditolerir antara pihak-pihak berkepentingan di arena demokrasi. Dengan kata lain, desain demokrasi di Indonesia dalam konteks penyelenggaraan pilkada telah gagal sebagai cara mentransformasikan konflik. Kegagalan tersebut disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, pemilu yang diperkenalkan di Indonesia selama ini dibangun atas basis pondasi preferensi individu. Diumpamakan bahwa mereka yang berinteraksi adalah individu-individu otonom yang masing-masing memiliki preferensi tersendiri, one man, one vote, one voice. Asumsi ini sangat problematik jika dihadapkan pada masyarakat Indonesia, yang sebagai individu tidak pernah lepas dari kategorisasi-kategorisasi sosial yang membentuknya. Sebagaimana di Papua, satu suara lahir dari suatu honai (keluarga/rumah tangga), bukan dari satu individu. Jadi suatu "jamaah/umat" akan menentukan preferensi individu-individu yang ada di dalamnya. Preferensi individu sebagian besar didasarkan atas basis sosial (socially bounded Individu). Dari pilihan basis sosialnya, individu baru kemudian akan mempertimbangkan pilihan-pilihannya terhadap kandidat yang tampil dalam pemilu. Kandidat dalam hal ini juga tidak sekedar sebagai kandidat pilkada tetapi juga tokoh yang dianggap mewakili basis sosial tertentu. Tidak mengherankan jika kemudian tokoh masyarakat seperti Kyai, kepala suku atau tokoh panutan lain, akan lebih menentukan preferensi-prefensi atau pilihan individu untuk bertindak secara politik.
Kedua, jika melihat logika cara mengelola elektoralisme di Indonesia, maka yang berlaku adalah logika "winner take all", "kalau saya dapat, yang lain tidak akan dapat". Dengan kata lain, logika yang terbentuk adalah demokrasi dengan desain mediteranisme yang pada prinsipnya "siapa yang menang, maka dia yang akan mendapatkan segalanya", sementara bagi yang kalah harus menunggu lima tahun lagi. Logika winner take all menciptakan dominasi kekuasaan, sebab konsekuensi dari kemenangan kepala daerah dari komunitas tertentu akan menciptakan "gerbong" birokrasi atas dasar basis sosial di lingkup pemerintahan daerah. Posisi-posisi birokrasi strategis akan dipegang oleh orang-orang yang berasal dari basis sosial yang sama. Sebaliknya, orang-orang (pejabat) yang berasal dari basis sosial berbeda akan tersingkir pada posisi pinggiran, yang bahkan sama sekali tidak diperhitungkan. Posisi yang dulunya merupakan posisi "mata air" berubah pada posisi "air mata" disebabkan perbedaan etnis atau basis sosial lainnya. Logika winner take all, tidak hanya menjelaskan tentang adanya dominasi elit. Lebih jauh dari itu, kemenangan kandidat dalam Pilkada akan menentukan nasib satu kampung, etnis atau komunitas tertentu. Komunitas yang terwakili akan mampu bertahan karena adanya jaminan sumberdaya publik yang mereka dapatkan. Sementara bagi komunitas yang lain, nasibnya sangat besar kemungkinan akan terabaikan. Kepala daerah terpilih akan memprioritaskan penyaluran bantuan sosial atau alokasi dana sosial ke komunitas tertentu yang merepresentasikannya. Akibatnya, kesejahteraan suatu entitas atau komunitas pendukung Kepala daerah terpilih akan terjamin dibanding komunitas lainnya. Begitu juga jajaran birokrasi yang telah didominasi oleh komunitas pendukung kepala daerah, akan melicinkan jalan memperoleh kesejahteraan bagi komunitasnya. Kesadaran semacam inilah yang nampaknya menjadi landasan masyarakat dalam melihat Pilkada, yang kemudian mendorong mereka berani mempertaruhkan nyawa, demi mempertahankan eksistensi entitasnya, demi eksistensi dirinya sendiri.
Pilkada yang bekerja dengan logika socially bounded individu dan winner take all memunculkan persoalan konflik yang cukup rumit. Kompleksitas salah satunya berakar pada karakter masyarakat Indonesia sendiri. Struktur sosial yang terfragmentasi dimana masing-masing kelompok memiliki basis kuat, nampak tidak kompatibel dengan logika Pilkada yang dibangun pemerintah. Dilihat dari struktur masyarakat plural seperti itu, Pilkada tidak bisa lagi dilihat hanya sekedar persoalan rekruitmen kepala daerah, tetapi lebih kompleks dari itu, Pilkada menyangkut persoalan "hidup mati" sebuah komunitas. Dominannya jalur aspirasi melalui basis sosial memang tidak dapat dilepaskan dari kurangnya mekanisme pelibatan publik luas dalam pengambilkan keputusan. Hampir bisa dikatakan bahwa iklim demokrasi di Indonesia pasca otonomi tidak mengalami perubahan yang berarti bagi hadirnya ruang publik. Tidak ada mekanisme efektif apapun yang memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan. Musrembang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) yang notabene sebagai ajang partisipasi masyarakat pun hanya menjadi suatu proses ritual demokrasi belaka. Birokrasi seolah menganggap masyarakat tidak mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Dalih ini memberi otoritas bagi birokrasi sebagai pihak yang dianggap paling tahu dalam menentukan alokasi sumberdaya.
Pada sisi yang lain, mekanisme demokrasi sebagaimana sebelumnya dipaparkan cenderung menjadikan masyarakat bersikap "pra bayar". Masyarakat bukannya lebih memilih menggunakan momentum pilkada untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingannya secara ideologis, mereka justru menjadikan pilkada sebagai bagian dari sumber pendapatan uang tunai. Daripada mengaharap janji-janji Pemilu yang sudah sering tidak ditepati, masyarakat lebih memilih memperoleh uang tunai di awal sebelum menentukan pilihan. Mereka nampak telah skeptis dan berpikir bahwa akan lebih sulit mendapatkan kompensasi apapun dari pemenang pilkada setelah hingar bingar berlalu. Masyarakat seakan tahu: lebih baik memilih mengambil keuntungan di awal karena mereka tahu setelah pilkada, mereka akan ditinggalkan. Jika demikian, maka persoalan konflik pilkada bukan semata-mata karena adanya provokator atau adanya mekanisme dan regulasi yang tidak tepat. Tetapi konflik lahir sebagai dampak logika pilkada yang bersandar pada basis sosial amat kuat.
Selain yang dijelaskan diatas, rawannya konflik dan kekerasan di alam demokrasi Indonesia disebabkan adanya sistem multipartai yang sesungguhnya telah menggambarkan perbedaan kepentingan itu sendiri. Secara sederhana, perbedaan kepentingan memberi kontribusi terhadap merapuhnya perdamaian sosial. Hal ini menjadi kenyataan pada saat kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik kepentingan menggunakan strategi contentious dalam prosesnya. Strategi contentious ditunjukkan dengan sikap dan perilaku yang agresif, serta tidak memedulikan kelompok lain. Pada konflik yang diciptakan oleh karakter contentious adalah zero-sum game, menang untuk kelompok sendiri dan ati untuk lawan. Kekerasan yang dilahirkan dari pola konflik inipun, dalam istilah Galtung (1997) menyebababkan absennya perdamaian negatif dan positif sekaligus, artinya ancaman kekerasan dalam bentuk aksi kekerasan fisik dan ketidakadilan sosial adalah ancaman nyata. Seandainya 34 parpol memiliki karakter kontentous, ancaman lahirnya kekerasan fisik dan ketidakadilan sosial bukanlah hal yang absurd dalam negara demokrasi Indonesia. Sejarah pemilu di Indonesia sendiri selalu tidak lepas dari pertunjukan hard power, dan akibatnya aksi kekerasan antar pendukung partai politik tak terhindar. Pemilu daerah yang telah terlaksana di berbagai daerahpun tidak lepas dari fenomena kekerasan antar massa parpol akibat pertunjukan hard power ini.
Namun pernyataan diatas sepertinya tidak berlaku dan kurang tepat untuk menggambarkan pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2012 ini dimana masyarakat semakin cerdas dan tidak mudah terprovokasi dengan berbagai isu yang dihembuskan seperti isu SARA dan politik uang. Masyarakat tetap tenang dalam menanggapi isu-isu tersebut, dimana tak ada konflik yang meletus. Terlepas dari permasalahan DPT (Daftar Pemilih Tetap), pilkada di Jakarta terbilang sukses. Kesusksesan pilkada di Jakarta dapat pula dilihat dari partisipasi masyarakat yang semakin meningkat pada putaran kedua. Selain itu, warga Jakarta tidak lagi terpaku pada calon yang berasal dari komunitas yang sama tetapi lebih memilih pemimpin yang memiliki visi misi yang dirasa mewakili warga Jakarta dan tidak peduli lagi dengan perbedaan atribut yang disandang oleh calon Gubernur seperti ras, suku, agama, dan lain sebagainya. Suksesnya pilkada di Jakarta semoga diikuti oleh daerah-daerah lain yang akan menyelenggarakan pesta demokrasi dan konflik yang sering terjadi saat maupun pasca pilkada seperti tahun-tahun sebelumnya tidak pernah terulang kembali. Kesuksesan pilkada di Jakarta dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014 nanti.

 Terlepas dari suksesnya pilkada di Jakarta, banyak konflik yang pernah terjadi saat maupun pasca pilkada khususnya konflik horizontal antar masyarakat pendukung pasangan calon. Internasional Crisis Group (ICG) mencatat sekitar 10 persen dari 200 pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang digelar sepanjang tahun 2010 diwarnai aksi kekerasan. Seperti di Mojokerto, Jawa Timur, Tana Toraja di Sulawesi Selatan dan Toli-toli di Sulawesi Tengah. ICG menyebutkan bahwa kekerasan dalam Pilkada antara lain dipicu oleh lemahnya posisi penyelenggara Pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota  dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu)
Jika dianatomi, beberapa sumber konflik horizontal yang berujung pada tindak kekerasan dalam Pilkada disebabkan beberapa hal diantaranya :
1.      Adanya rasa ketidakpuasan dari pasangan calon atau pendukung pasangan calon ketika gugur dalam tahap pencalonan.
Kejadian ini terjadi pada Pilkada Kabupaten Mojokerto Tahun 2010. Selain Mojokerto, kekerasan yang dilakukan pendukung pasangan calon akibat gugur dalam tahap pencalonan juga terjadi dalam pilkada di Kabupaten Puncak Provinsi Papua yang menewaskan sekitar 19  orang. Konflik terjadi akibat KPU setempat menolak salah satu pasangan calon yang diajukan oleh Partai Gerindra karena partai tersebut sebelumnya sudah mendaftarkan pasangan calon yang lain. Akibatnya terjadi dualisme dukungan yang diberikan oleh Partai Gerindra kepada dua pasangan calon yang berbeda.
2.      Adanya rasa tidak puas pasangan calon terhadap hasil penghitungan Pilkada.
Tahapan pendaftaran pemilih yang amburadul inilah yang mengakibatkan konflik pada pemungutan dan penghitungan suara. Diakui bahwa sengketa Pilkada memang banyak diawali oleh tidak maksimalnya proses pendaftaran pemilih. Pengalaman Pilkada selama ini menunjukan bahwa ketika pemutahiran data pemilih tidak maksimal dan mengakibatkan banyaknya warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, maka kemungkinan besar terjadi protes dan konflik ketika hari H. Karena pendataan pemilih yang kurang valid, pada saat penetapan pemenang biasanya akan terjadi kekisruhan. Fenomena yang sering muncul adalah pihak yang kalah apalagi mengalami kekalahan dengan angka tipis selalu mengangkat isu penggelembungan suara, banyak warga yang tidak terdaftar dan persoalan pendataan pemilih lainnya sebagai sumber utama kekalahan. Massa yang merasa tidak mendapatkan hak pilihnya biasanya memprotes dan dimanfaatkan oleh pasangan yang kalah.
Kejadian ini pernah terjadi dalam Pilkada di Sumatra Selatan, dimana pendukung Syahrial Oesman menuding adanya penggelembungan suara di Kabupaten Musi Banyuasin yang mengakibatkan kemenangan tipis Alex Noerdin. Selain itu kisruh pilkada juga terjadi di Tana Toraja Sulawesi Selatan Tahun 2010. Kerusuhan dipicu ketidakpuasan ratusan pendukung dua pasangan calon bupati dan Wakil bupati, yakni Nikodemus Biringkanae-Kendek Rante dan pasangan Victor Datuan Bata-Rosina Palloan, atas hasil penghitungan sementara pemilihan umum kepala daerah yang dilakukan beberapa lembaga survei. Kerusuhan itu menyebabkan 1 orang tewas dan 10 orang luka berat dan ringan.  Kerusuhan juga mengakibatkan sejumlah bangunan kantor pemerintahan rusak, seperti Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tana Toraja, Kantor Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu), Gedung DPRD, Kantor Dewan Pimpinan Daerah Partai Golongan Karya, dan rumah dinas Bupati Tana Toraja Johannes Amping Situru. Ketidakpuasan warga terhadap hasil Pilkada juga terjadi di Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Di Soppeng, massa merusak Kantor KPU Soppeng dan dua kantor kecamatan, yakni Takkalala dan Lalabata. Sementara di Maros, massa melempari Kantor Kecamatan Tabralili dengan bom Molotov. Kerusuhan akibat rasa tidak puas terhadap hasil Pilkada juga pernah terjadi pada tahun 2006 di Kabupaten Tuban Jawa Timur. Kerusuhan itu mengakibatkan beberapa bangunan umum seperti Pendopo Kabupaten Tuban hangus dibakar massa.
Selain itu, Pemicu lain yang biasanya memunculkan konflik dalam Pilkada adalah tidak bersedianya DPRD menetapkan hasil Pilkada. Meskipun tidak memiliki dampak yuridis terhadap hasil Pilkada, namun penolakan DPRD tersebut memunculkan sengketa politik berkepanjangan pasca Pilkada. Seperti misalnya yang terjadi pada Pilkada Banyuwangi 2005 di mana pihak DPRD bersikukuh menolak penetapan Bupati Banyuwangi terpilih. Kasus penolakan penetapan oleh DPRD biasanya diawali oleh kekalahan pasangan calon yang didukung oleh banyak partai yang secara politik memiliki kekuatan signifikan di DPRD. Dan umumnya penolakan tersebut berujung pada tidak harmonisnya hubungan kekuatan eksekutif dan legislatif pasca Pilkada.
Proses Konflik Pilkada di Mojokerto
Konflik Insiden anarkis di halaman Gedung DPRD Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur Jumat (21/5/2010) sedikitnya mengakibatkan 22 mobil hancur dan 10 di antaranya dibakar massa dengan bom molotov saat penyampaian visi dan misi calon bupati dan calon wakil bupati setempat. Aksi rusuh ini merupakan rentetan demo yang terjadi sejak KPU Mojokerto mencoret pasangan KH Dimyati Rosyid-M. Karel dari kancah pertarungan. Aksi anarkis itu terjadi bersamaan penyampaian visi, misi dan program pasangan cabup-cawabup. Selain melempari bom molotov, massa juga membakar dan merusak puluhan mobil, salah satunya mobil dinas Wakil Walikota Mojokerto, H Masud Yunus, yang diundang menghadiri acara itu juga ludes dilalap api. Sumber konflik berasal dari kekesalan pendukung salah satu bakal calon bupati Mojokerto, yaitu pasangan Dimyati Rosyid-M Karel yang tidak lolos proses verifikasi oleh komisi pemilihan umum. Keputusan ini ditetapkan setelah Rumah Sakit dr Soetomo, Surabaya menegaskan surat rekomendasi hasil tes lanjutan ke dua bersifat menguatkan hasil tes kesehatan pertama. Dimana pasangan ini dianggap menderita gangguan multiorgan. Mereka mempertanyakan keabsahan pelaksanaan tahapan yang dilaksanakan KPU ( http://pilkadaponorogo.com/dimyati-rosyid-m-karel-tak-lolos-tes-kesehatan/ ).
            Salah satu tujuan utama demokrasi untuk menekan habis kekerasan ternyata masih belum tercapai, terbukti dari banyaknya kasus kisruh pilkada seperti yang sudah dipaparkan diatas. Hal tersebut bukanlah perkara usia demokrasi semata. Namun imbas dari belum berhasilnya transformasi demokrasi ditingkat kelembagaan. Kegagalan transformasi demokrasi tersebut berakar oleh dua kutub dekonstruktif yaitu kutub bad governance lembaga-lembaga demokrasi dan pelembagaan anarkhisme politik warga. Hal ini berkaitan dengan fakta yang menunjukkan bahwa lembaga-lembaga demokrasi di Indonesia seperti KPU, masih berjalan pada dimensi formalitas. Penuh dengan seabrek prosedur dan laporan kerja. Namun miskin tata kelola demokratis, sehingga tidak terbentuk kualitas proses pelaksanaan misi lembaga. KPU tidak hanya menjalankan fungsi mengatur, tetapi juga harus menjalankan fungsi akomodasi dalam mengelola konflik yang membantu penemuan pemecahan masalah. Masalahnya fungsi akomodasi selama ini tidak dijalankan dengan baik sehingga banyak aksi kekerasan dalam pilkada
Sedangkan kutub anarkhisme politik adalah pelembagaan nir-toleransi, anti-prosedur legal dan kekerasan oleh warga. Idealnya istilah warga negara merujuk pada kesediaan warga emngikuti dan memanfaatkan lembaga demokrasi. Bersedia mengikuti aturan main tanpa aksi kekerasan. Suatu ideal dari democratic citizenship. Faktanya democratic citizenship masih belum terbentuk baik di Indonesia dan malah melembagakan anakhisme politik. Sehingga ketidakpuasan dan proses terhadap pelaksanaan pilkada di daerah-daerah hampir selalu diwarnai dengan aksi kekerasan dan pengrusakan gedung.

Minggu, 18 Oktober 2015

PASANGAN ABOK-YULIANUS PROGRAMKAN PEMBENAHAN SEBAGAI SEKTOR UNTUK YAHUKIMO BANGKIT

Calon Bupati Yahukimo Abok Busub, MA dan Calon wakil Bupati Yulianus Heluka, SH



Jayapura ,  - Mengikuti pemilihan kepala daerah (PILKADA) di kabupaten Yahukimo 2015 ini, pasangan Abok busub, MA, dan Yulianus  Heluka, SH adalah pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Yahukimo periode 2015-2020, menyiapkan beberapa program untuk masyarakat.
Pembenahan diberbagai sector untuk kabupaten Yahukimo, mulai dari bidang pendidikan, kesehatan , ekonomi kerakyatan hingga infrastruktur yang akan  menjadikan Yahukimo Bangkit.
Keduanya diusung tujuh partai politik, PAN, Demokrat, Nasdem, PPP, Gerindra, PBB,dan PKPI, pasangan Abok-Yulianus menyampaikan Visi Misi mereka saat berkampanye.
Kedua pasangan ini turun langsung ke masyarakat di beberapa daerah pemilihan dan menyampaikan Visi Misi mereka untuk mendorong perubagan di Kabupaten Yahukimo.
Untuk di bidang infrastruktur,
Kata calon Bupati nomor urut satu, Abok Busub mengatakan, perubahan infrastruktur jalan di ibu kota, termasuk jalan yang menghubungkan  Kurima Wamena, hingga kini belum berjalan efektif ini sangat penting untuk di dorong lima tahun kedepan
Pendidikan yang kita programkan adalah sekolah pilot bagi putra putri asli yahukimo dari 51 Distrik yang ada, begitu juga dengan program  kedokteran dan teknik sipil rencana akan buat perda bahwa dalam lima tahun nanti jika terpilih dengan DPRD sepakat bahwa beberapa orang dokter dan pilot dalam lima tahun menhasilkan beberapa yang kita kirim, dan berapa orang di teknik sipil yang dapat di selesaikan, sehingga ada mahasiswa khusus juga yang kita biayai  dalam anggaran 20 persen dari  dana Otsus untuk pendidikan.
Bahkan kita juga programkan doctor, tetapi tidak menjanjiakan banyak,”
Selama 10  Tahun ini, Abok mengakui banyak program dan sudah ada 10 titik di bidang pendidikan tetapi itu tidak berjalan bagus, sehinggga  pasangan nomor  urut satu  ini ber komitmen kembali baik tingkat perguruan tinggi maupun sekolah dasar, menengah dan tingkat atas akan lebih diefektifkan lagi.
Di bidang kesehatan, Abok bersama Yulianus  memprogramkan peningkatan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat salah satunya memberikan subsidi penerbagan khusus untuk kesehatan .
  Jadi,  jika kami terpilih akan bekerjasama dengan beberapa aviasi dan member subsidi pesawat di bidang kesehatan, sehingga jika ada seorang  pasien yang membutukan  rujukan kesehatan jangan sampai ada kesulitan masalah trasportasi,” jelasnya.
Kemudian perubahan berikut akan fokus kepada pegaewai negeri sipil di Yahukimo, menurut dia selama 10 tahun ini PNS sebanyak 1.084 orang , insentif nya itu adalah tujuh lima puluh ribu rupiah.
Tetapi aktivitas kerja PNS ini di Yahukimo dinilai tingkat kelemahan tinggi, sehingga insentif yang mereka terima itu tidak cukup memenuhi kehidupan se hari-hari sehingga dapat mempengraruhi para pegawai dan mereka tidak betah tinggal tempat tugas.
“Saya memberikan solusi alternatif, insentif untuk staf biasa akan dinaikan menjadi RP 17 juta per orang.  Jadi kalau 1.084 orang kita habiskan APBD diatas 16 miliar rupiah lebih”, katanya.
Dia berjanji akan memeberikan penambahan untuk kepala seksi  di setiap SKPD yang tadinya selama 10 tahun pemerintah hananya member insentif  18 juta rupiah , maka akan dinaikan menjadi 30 juta rupiah.
Kemudian untuk kepala bidang tadinya 29 juta akan dinaikan menjadi 40 juta juga, kemudian sekretaris dinas atau badan dari 44 juta menjadi 55 juta, kepala dinas dari 80 juta menjadi 95 juta.
“ Dari total anggaran yang kita habiskan itu sekitar 178 miliar rupiah, karena  possi APBD kita satu triliun tujuh puluh delapan miliar sehingga tidak mempengaruhi di possi –possi yang kita naikan untuk peningkatan kesejahteraan PNS,” jelasnya.
Abok ,mengakui bersama calon wakil Bupati , Yulianus Heluka membuat program ini karena pertama ingin  memberikan motivasi kepada pegawai  agar setiap PNS dapat membantu kerja pemerintah melayani masyarakat sungguh –sungguh.”